Kurasa mendaki itu cuma butuh tiga hal saja kawan. Duit yang cukup di
tangan. Sedikit ketrampilan serta kekuatan. Dan, yang terpenting adalah
belas kasihan. Yah, belas kasihan, itu yang paling dibutuhkan oleh
seorang petualang. Bukankah karena sebuah belas kasihan Tuhan, puncak
tinggi itu bisa kita gapai dengan tangan? Bukankah karena setitik sifat
Rahman-NYA pula kita bisa selamat pulang, dan kembali berkumpul dengan
keluarga?.
Kawan, mendaki itu bukan sebatas menumpuk dokumentasi di situs
jejaring pribadi. Bukan pula ajang pembuktian sebagai seorang pencinta
alam yang jantan. Jika itu saja yang ada dalam pikiranmu, kurasa kau
masih belum memahami esensi dari mendaki. Dari setiap cucuran keringat,
disitu ada mutiara hikmat. Dalam setiap perjalanan, disitu pula ada
makna pelajaran tentang kehidupan.
Saat kau dirundung gila tenar dan sanjung. Cobalah untuk berdiri di
puncak tinggi itu. Lihat kawan, adakah sorak sorai tepuk tangan penonton
yang mengitarimu. Adakah spanduk “selamat datang” yang menyambutmu? Mungkinkah pula ada sebuah tropi yang bisa kau angkat tinggi-tinggi sebagai tanda kemenanganmu?
Saat kau di puncak tinggi itu, mungkin saja kau merasa lebih tinggi
dari segalanya. Coba tengok di sekelilingmu. Kanan, kiri dan juga yang
ada di atasmu. Lihat, bandingkan dirimu dengan bentang alam yang
menghampar di sana. Bayangkan dirimu ada diantaranya, itulah sebenarnya
dirimu. Kau tak lebih hanyalah sebuah noktah yang mungkin tak nampak
jika ditatap dari kejauhan. Masihkah kau merasa lebih tinggi? Jadi,
kenapa kita merasa seakan mampu memegang matahari? Bukankah di atas
langit masih ada langit kawan? Tak mungkin kita mampu menggapai
matahari itu. Bahkan untuk menatapnya saja, kau tak akan kuasa oleh
silaunya.
Berada di puncak yang paling tinggi, bukan berarti kita telah menjadi
pemenang sejati. Jangan lupa kawan, semakin tinggi tempat kita
berdiri, semakin kencang pula angin yang menerpa di kanan kiri. Posisi
tinggi dalam kehidupan bukanlah jaminan tidur kita akan menjadi aman
sekaligus nyaman. Sebab, bisa jadi ada angin dari luar sana yang akan
menerpamu secara bertubi-tubi. Sekencang-kencangnya, tanpa kau sadari
dari arah mana datangnya. Bahkan acapkali angin itu mencoba
menjatuhkanmu hingga posisi serendah-rendahnya. Tapi, santai saja kawan.
Bukan itu yang perlu kamu takuti. Jadikan saja ikhlas dan sabar sebagai
tameng untuk menahan terpaan angin di luaran sana.
Kuhanya takut hembusan angin kecil dalam diri yang justru akan
menggoyahkan kaki penopang kita berdiri. Tiupan angin dalam hati bernama
sombong, riya’ dan dengki, itulah yang harus kita waspadai. Jangan
biarkan tiupan itu semakin berhembus, menerobos dinding hati ini. Sebab,
jika itu menjadi kebiasaan, bisa jadi akan menjadi sindrom saat usia
senja nanti. Saat rambutmu telah dipenuhi uban, kau masih saja sibuk
berebut pujian. Saat keriput mulai membalut kulitmu, kau pun masih saja
bernafsu memburu jempol-jempol itu.
Kawan, bukan berarti aku antipati pada kata-kata mendaki. sebab,
hingga hari ini petualangan itu masih kusenangi. Mungkin saja aku sedang
jemu untuk melakukannya. Seperti halnya kejemuanku pada dunia abstrak
yang sedang kulakoni lewat layar mini ini. Mungkin ada baiknya kita
berbincang tentang hal yang lain saja. Sesuatu yang lebih pencinta alam
tentunya. Tentang periculum in mora. Atau tentang alam
raya yang butuh sentuhan sayang dari tangan kita. Kenapa kita enggan
perbincangkan jernih sungai yang sekarang berubah bak comberan? Kenapa
kita tak berdiskusi lagi tentang burung-burung yang enggan bernyanyi
kala pagi hari?
Mungkin lain waktu kubiarkan ransel gunung itu kembali memijat lembut
punggungku. Mungkin lain hari aku akan kembali mendaki sepertimu. Tapi,
tentu saja bukan bermaksud untuk menjadi yang lebih tinggi, atau mungkin
meninggi. Sebab, mendaki itu kulakoni ‘tuk sekedar mengasorkan diri.
Salam Lestari !
Note : Hari ini lantunan Murattal “Al-Baqarah” Ust. Abu Usamah terasa lebih merdu dibanding kicauan sekerumunan burung di semak belukar itu
sumber : http://gispala.wordpress.com
1 komentar:
Mantap !!
Posting Komentar