DIKSAR PECINTA ALAM, sebuah kata yang tak asing didengar. Sebuah
prosesi yang harus dijalani bagi calon penerus baru organisasi penggiat
alam. Suatu ritual yang seakan menjadi momok menakutkan bagi mereka.
Penuh tekanan, penuh persiapan, penuh finansial, sarat akan kekerasan,
dan terkadang tak sedikit jatuh korban. Saya akan telaah sejenak, apakah
benar demikian? Apa yang mendasari itu semua? dan, Ada apa dibalik
proses pendidikan yang selama ini tetap dipertahankan?
Suatu ketika saya mendengar berita musibah pada suatu pendakian
gunung, banyak diantara mereka yang menjadi korban dan meninggal. Saya
mencoba mencari tahu lebih banyak berita sejenis, pada siapa dan mengapa
kecelakaan ini terjadi?.
16 Santri Sempat Dikabarkan Hilang di Gunung Salak. (
poskota.co.id)
5 pendaki hilang di gunung singgalang (
metrotvnews.com)
siswa smk hilang di puncak gunung Kawi (
antarajatim.com)
pendaki asal bekasi meninggal (
solopos.com)
mayat di gunung Pangrango di evakuasi (
bataviase.co.id)
7 pendaki tewas di rinjani (
youtube.com)
Begitulah kejadian yang nyata didepan kita, apakah kita menutup mata
jika nyawa seakan sudah tak ada harganya. Siapa yang peduli? Siapa yang
bertanggung jawab? Siapa yang menelan pahit tercorengnya citra sebuah
organisasi, lembaga, bahkan Negara karena tak bisa memfasilitasi
rakyatnya untuk sekedar menikmati alam?
Apa kaitannya dengan pendidikan dasar pecinta alam?
Contoh kecelakaan diatas bisa terjadi pada siapa saja. Orang yang
professional sekalipun punya resiko yang sama ketika ia menempatkan
dirinya di alam bebas. Kita tidak bisa memungkiri adanya kehendak Tuhan,
namun yang bisa kita lakukan adalah mengurangi resiko kemungkinan
terjadinya kecelakaan tersebut dari sisi manusia nya sendiri (
human error).
Menjadi sorotan utama apa saja yang kita butuhkan, bukan hanya sekedar
fisik dan ilmu. Memang keduanya begitu sangat penting, namun bukan yang
terpenting apabila keduanya berdiri sendiri-sendiri. Banyak hal yang
terjadi selama dilapangan, kombinasi dari beberapa elemen yang kita
miliki bisa menjadi solusi yang lebih baik.
Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa diksar tidak hanya mempersiapkan
skill dalam berkegiatan di Alam, namun juga sebagai tonggak awal
berkembangnya mental dan insting mereka. Akhirnya dari kombinasi itu
mereka lebih percaya diri, lebih mampu mengukur kemampuannya, dan peka
terhadap sekelilingnya. Selalu mempertimbangkan akal sehat dan bukan
sekedar menuruti hawa nafsu. Bisa saya katakan bahwa, lebih banyak
kecelakaan terjadi (tersesat, hilang, dsb) bukan karena lemah fisiknya,
namun karena kurang rasa percaya diri, dan hilangnya fungsi seorang
pemimpin. Kondisi demikian berlanjut pada kacaunya komunikasi antar
anggota, ketidak percayaan pada pemimpin, rasa takut yang hebat, hingga
hilangnya semangat untuk mempertahankan hidup. Disini diksar memiliki
peranan yang amat penting sebelum seseorang melangkahkan kakinya di Alam
bebas.
Apakah diksar adalah pilihan satunya-satunya? Bagaimana dengan
seseorang yang memiliki pengalaman dan jam terbang yang tinggi haruskah
juga melewati prosesi ini?
Saya sangat setuju bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik,
pengalaman dapat lebih menunjukkan identitas dan karakter kita. Apalagi
seseorang yang memiliki jam terbang yang tinggi, secara tidak langsung
ia telah mendorong dirinya untuk cepat berkembang. Tidak heran bahwa
nantinya akan tumbuh daya juang yang tinggi dan respon tubuh yang baik
saat kondisi yang tidak diinginkan. Diksar adalah lompatan awal yang
akan di follow-up lagi dengan banyaknya jam terbang. Namun tidak mutlak
harus dilalui jika ia mampu melompatinya dengan baik dan sama berat
porsinya.
Banyak teman saya yang tidak memiliki background PA atau belum pernah
melalui prosesi diksar, namun bisa lebih mengkondisikan dirinya dalam
berbagai situasi, menghasilkan solusi yang brilliant, dan bisa
diandalkan. Dan banyak juga teman saya yang memiliki background PA hanya
sebatas kebanggaan akan lencana yang ia pakai, namun tidak bisa
menolong dirinya dan bahkan menjadi benalu bagi yang lain. Diksar adalah
pintu pertama dalam sebuah kurikulum namun outputnya tergantung dari
isi dan orangnya masing-masing. Namun jika kita tidak tahu apa-apa,
mengikuti seluruh kurikulum dengan baik adalah jalan yang lebih aman.
Berikut saya coba uraikan beberapa point yang ada dalam diksar pecinta alam:
- Pembentukan mental dan karakter yang kokoh
- Pembentukan sikap rendah diri dan peduli lingkungan
- Pembentukan kapasitas ilmu dalam berkegiatan di alam
- Pembentukan kesadaran akan rasa kesamaan, kebersamaan, dan kekeluargaan
- Membentuk pribadi yang bijak dan beradab
Beberapa penggalan cerita dibawah ini sekiranya bisa menjabarkan
point-point di atas. Sebuah pengalaman pribadi yang saya alami ketika
Pendidikan di beberapa organisasi PA..
OTAK YANG ADA DIANTARA PERUT DAN LUTUT
Sebuah keyakinan bagi kita semua, bahwa seluruh manusia dilahirkan
dalam keadaan bodoh, lemah fisik dan juga akalnya. Semua kemajuan yang
ada pada dirinya berkembang setelah ia mau belajar, merasakan dan
memahami apa yang dibutuhkannya. Namun, terkadang kita tak menyadari,
ada sesuatu yang teramat penting yang sering kita lupakan seiring
meningginya daya pikir manusia, yaitu ‘
hati nurani’.
Sedikit pelajaran berharga yang pernah saya dapatkan ketika diksar.
Satu keadaan dimana fisik seolah dikembalikan ketitik Nol, tanpa
keangkuhan yang biasa merangkul kita berdiri, dan mulut hanya mampu
berbicara berdasarkan akal dan perasaan saja. Ada satu pertanyaan
panjang yang terlontar ketika itu dan berakhir, “….Apa kamu pintar!!?”,
sebuah pertanyaan yang teramat sederhana namun teramat sulit untuk
kujawab. Tak terhitung berapa kali otak ini berpikir hingga beban
dipunggung serasa pindah dikepala. Dua opsi yang ada, berkata Ya dengan
nada terendah atau Tidak! dengan suara lantang dan menerima akibatnya.
Tampak jelas terasa ketika tidak ada sesuatupun yang dapat membantu
kita, itulah diri kita sebenarnya. Diri kita yang tak berdaya dan hilang
semangat ketika tak ada yang menyanjung kita, tak ada teman yang biasa
kita susahkan tanpa kita sadari, tidak percaya diri, selalu bimbang jika
kita merasa tak membutuhkan orang lain.
Pertanyaan lain yang terlontar, “Ada dimana otakmu!!??”, ini bukan
pertanyaan ilmiah, dan sekarang saya baru sadar ini juga bukan jebakan.
Sebuah analogi yang merepresentasikan akal saat itu, bahkan membuat
seseorang dibawah titik Nol dan akan semakin memperjelas kapasitas orang
tersebut. Kunci dari semua itu adalah hati nurani, dimana hatimu berada
ia harus terletak diatas akalmu, agar kita tidak besar kepala, sombong
dengan apa yang kita bisa. Dan akal tidak sampai dibawah lutut karena ia
adalah pangkal kebodohan, tidak ada artinya kebaikanmu dituntun oleh
kebodohan. Akalmu harus terletak diantara lutut dan hati/ perut!.
LAYAKNYA TEMBIKAR IA TAKKAN HABIS DIBAKAR
Ada satu cerita yang pernah saya baca di sebuah buletin Pasma54.
Sebuah metafora menggambarkan bahwa Diksar, Dikjut , pengembaraan, tak
lain adalah sebuah proses yang penting bahkan wajib ada dalam program
pendidikan sebuah organisasi penggiat alam. Cerita yang mengubah
pandangan saya yang selama ini bisikan-bisikan tetangga telah
melembekkan diri saya. Mungkin tidak lazim untuk mereka, karena mereka
tidak membutuhkannya. Berbicara hanya pada satu sudut pandang saja,
tanpa tahu apa yang terjadi pada para penggiat yang membutuhkannya.
Balada Api dan Tanah Liat!!
Disuatu malam ada sebuah desa yang terkena musibah kebakaran, tak
berapa lama semuanya terlahap api yang besar. Sangat tiba-tiba,
sehingga penduduk pun tak sempat menyelamatkan barang-barang
berharganya, hanya nyawa yang bisa ia bawa. Hari menjelang pagi dan api
pun mulai padam. Banyak yang kembali untuk sekedar melihat apa yang bisa
mereka bawa dari sisa puing-puing rumah mereka. Semuanya tampak abu,
televisi, radio, pakaian, sepeda, semuanya tak luput oleh api. Ada
beberapa perabotan yang selamat, aneh beberapa bahkan ada yang masih
mengkilap dan utuh: Periuk dari tanah liat yang dibakar, guci, gelas dan
piring beling, vas bunga, asbak, celengan dan benda-benda yang terbuat
dari keramik. (reoN:2005)
Apa yang bisa kita ambil pelajaran dari sana? Jika kita diibaratkan
seperti tembikar atau puing-puing yang selamat, tentu kita akan
mengalami proses yang sama dengannya untuk bertahan dari musibah yang
datang. Periuk dari tanah liat, harganya murah, namun proses
pembuatannya yang ditempa dan dibakar menjadikan ia kuat dilahap api.
Seorang tentara yang setiap harinya ditekan dan digembleng, tak lain
agar ia siap menghadapi ujian yang sesungguhnya. Dimana ia bergantung
pada potensi maksimalnya yang ia dapatkan pada saat latihan. Begitupun
seorang PA (Pecinta Alam), ketika mendaki gunung, memanjat tebing, arung
jeram, telusur goa, dan lainnya adalah kegiatan yang riskan dan penuh
resiko. Kita tak tahu bahaya apa yang mungkin bisa saja terjadi secara
tiba-tiba. Tidak hanya fisik dan keterampilan yang harus ia miliki namun
juga mental yang bisa ia bakar.
KETIKA AIR MATA MENETES DIKULIT YANG PENUH DENGAN SAYATAN
“Telah hilang semangat hidup, apabila kita berpikir untuk mati. Akan
datang kekuatan baru apabila kita berpikir untuk hidup dan berharap
lebih jauh lagi”. Mungkin kekuatan sugesti itulah yang masih
menggerakkan tubuhku hingga klimaksnya. Golok yang tak hentinya mengayun
dan menghabiskan sendi-sendi tangan ini bergetar dan beberapa kali
lepas dari genggaman. Kaki-kaki yang tak lagi kurasakan pijakannya
bagaikan sabatang kayu keropos yang ditindih beban yang tak masuk akal
beratnya. Lelah, lelah sampai beberapa kali berhalusinasi, itulah
istirahatku yang cuma semu ditengah pijakan panjang yang terjal.
Hangatnya sinar matahari, berharap untuk bisa menembus kulitku.
Walaupun keringat akan mengucur deras, nampaknya lebih baik daripada
terlalu lama menggigil dibalut pakaian basah. Jalan setapak dengan
lumpur yang bergejolak menyiprati wajah dan memendam sepatu boot ku, tak
sebanding untuk tubuh yang hampir tumbang ini. Hari masih siang namun
diufuk telah redup cahayanya,mengisyaratkan dinginnya malam nanti
menjadi cobaan yang berat untuk dilewati. Malam dimana luapan kecapaian
bercampur aduk dengan harunya peristiwa memilukan.
Perasaan sedih dan cemas melihat rekan yang terserang hipotermia
hingga sebatang sendok pun bengkok menahan rahangnya. Mereka yang sempat
memuntahkan makanannya tak kecewa walau tadi harus merangkak karena tak
ada asupan tenaga. Beberapa orang susah payah mengikat bivak walau
jarinya telah kaku kedinginan. Sebuah pemandangan yang teramat pilu dan
menggetarkan hati, namun kelelahan dan kepayahan telah dicerna dengan
baik, sehingga hanya ada satu kata, “Kebersamaan” apapun yang terjadi.
Ketika air mata menetes di kulit yang penuh dengan sayatan, menjadi
arti mahalnya sebuah pengorbanan. Pengorbanan untuk membentuk satu
keluarga diatas prinsip kebersamaaan. Bertahan dari berbagai ujian yang
datang, semuanya saling menyemangati, saling interospeksi demi tujuan
bersama. Hal seperti itulah yang dapat membuka mata bagi orang yang
paling egois sekalipun. Sesuatu yang menjadikan tubuh ini seakan hidup
kembali, hidup bukan untuk dirinya sendiri tapi juga orang lain. Sebuah
pelajaran yang berharga untuk diresapi dan akan diingat sepanjang hayat.
NILAI YANG TAK TERNILAI HARGANYA
Kesamaan dan kebersamaan adalah pondasi yang bisa mewujudkan tali
persaudaraan. Tapi apakah pangkal dari kesamaan? Takdir? mungkin
pengorbanan lah yang lebih tepat, karena begitu banyak karakter manusia
yang takkan bisa disatukan tanpa ada sebab musababnya. Logika akan
sejalan dan mengalir dengan waktu dan perubahan zaman, namun perasaan
akan membimbing ketika ia melihat kepercayaan, dan kadarnya sebanding
dengan apa yang ia saksikan, pembuktian yang nyata sehingga ia tak
menempatkan logika diatas segala-galanya.
Edelweiss yang tumbuh di puncak, mengakar keras dalam kebersamaan.
Kesetiaannya akan terus abadi walau badai menerjang dan sengatan
matahari memudarkan warnanya. Ia dibesarkan oleh perjuangan, tumbuh
karena keyakinan dan kesetiaan, dan cobaan lah yang akan membuktikannya.
Tidak sedikit bibit-bibit lain yang iri padanya, bahkan yang besar
ingin sekali merampasnya. Bibit-bibit kecil ternyata tak lebih berat
perjuangannya, dan yang besar terlalu sombong tak membutuhkan yang lain.
Sepertinya edelweis tak perlu bersusah payah untuk menjaga keutuhannya
dari yang lain.
Perjuangan dan pengorbanan yang sesungguhnya memiliki makna yang
mendalam. Ia akan selalu terpatri dalam hati, mengiringi dalam setiap
langkah, dan menjadi batu loncatan dalam memperbaiki diri. Sesuatu yang
menjadikan seseorang bijak, tidak tampak namun begitu mahal harganya.
Amat mahal sehingga Ia takkan rela sesuatu itu direnggut oleh orang
lain.
PEKERJAAN RUMAH YANG BERAT
Ada seorang siswa yang menjadi peserta terbaik dalam sebuah pelatihan
dasar kepemimpinan yang diadakan sekolahnya. Tapi dia sama sekali tidak
terpilih menjadi ketua atau kandidat ketua atau bahkan menjadi anggota
OSIS atau MPK sekalipun. Ternyata ada perbedaan penilaian antara
penyelenggara pelatihan dengan panitia penyeleksi OSIS-MPK, itu mungkin
kalau kita berpikir terlalu positif. Namun itu tidak logis karena
menurutnya seperti apa yang digembar-gemborkan bahwa syarat menjadi
anggota OSIS-MPK harus melalui tahap pelatihan dasar kepemimpinan,
otomatis penilaian mutlak dilihat dari hasil proses tersebut. Bukan dari
penilaian pendapat oleh sebagian panitia atau orang yang berkepentingan
didalamnya. Satu alasan yang mungkin, adalah karena peserta terbaik itu
adalah anggota organisasi Sispala. Diperkuat lagi dengan kenyataan
bahwa tak satupun anggota Sispala yang aktif lolos menjadi anggota
OSIS-MPK. Satu bukti bahwa kepercayaan guru atau orang-orang yang
memegang jabatan tinggi disekolah itu sangat jauh.
Ada lagi seorang mahasiswa yang ingin sekali menjadi seorang penggiat
alam. Sudah lama waktu yang ia korbankan dan uang yang ia investasikan
untuk bisa menjadi seorang Mapala. Hingga suatu ketika ada proses yang
dimana harus ia jalani dan tiba-tiba saja memutuskan untuk hang-out dari
acara tersebut bahkan dari organisasi Mapala nya karena desakan Orang
Tua. Banyak rumor yang beredar dari mulut ke mulut, bahkan orang yang
tidak mengerti membuat celotehan-celotehan sendiri, “Mapala, makan gak
makan asal nongkrong” “Mapala, mahasiswa paling lama”, “Mapala,
mahasiswa tak punya tata krama”, “Mapala, aliran keras diwadah UKM”dan
lain-lain. Menjadikan image tersebut menakutkan bagi orang tua, atau
mereka yang ingin masuk Mapala. Memang, menurut sebagian teman itu
sebagai salah satu seleksi alamiah bagi seorang anak mami, atau orang
yang hanya bergantung pada Ortu. Tapi anggapan-anggapan miring punya
akibat lebih fatal untuk keberlangsungan organisasi Mapala tersebut.
Mulai dari dipersulitnya pengesahan proposal sampai pada krisisnya
regenerasi keanggotaan organisasi Mapala.
Itu hanya sebagian fakta dari banyaknya bentuk diskriminasi yang
pernah saya lihat, hingga akhirnya saya tergerak untuk menulisnya dan
berharap agar kita semua mau bercermin dan mengoreksi diri
masing-masing. Pendidikan Mapala bukan hanya sekedar program kerja, tapi
lebih kepada tanggung-jawab dan kepedulian terhadap generasi
selanjutnya. Agar nantinya Ia lebih punya kapasitas, tidak dipandang
sebelah mata, dan menjadi kebanggaan organisasi, kampus atau sekolahnya.
SUMBER :
saudara yang di sebelah :D