Minggu, 15 Juni 2014

Mendaki Gunung = MENGHARGAI ARTI KEHIDUPAN




Harusnya, hakekatnya seperti ini..

Jujur sungguh sedikit sekali orang yang bisa atau mau memahami keadaan seseorang atau keadaan sekitarnya, jika ia tidak terjun langsung atau mengalami sendiri apa yang dirasakan seseorang dalam kehidupannya.

Pendaki gunung atau yang banyak orang sering mengindentifikasikan sebagai “ Pencinta Alam ??“ atau biasa disebut PA, itulah yang pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang – orang ini. Dengan ransel serat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil bercampur lumpur, membuat mereka kelihatan gagah. Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan mata berbinar menyiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut mereka, sambil berkata dalam hatinya, “Ngapain cape – cape naik Gunung. Pas Nyampe ke puncak, turun lagi…mana di sana dingin lagi, belum lagi kalau kehujanan, terus keram kaki atau keram perut….haduehhh , cape dehhh !!!!!!!”

Tapi tengoklah ketika mereka memberanikan diri bersatu dengan alam dan dididik oleh alam. Mandiri, rasa percaya diri yang penuh, kuat dan mantap mengalir dalam jiwa mereka. Adrenaline yang normal seketika menjadi 

naik hanya untuk menjawab golongan mayoritas yang tak henti – hentinya mencibir dan memandang rendah mereka. Dan begitu segalanya terjadi, tak ada lagi yang bisa berkata bahwa mereka adalah bulshit people !!!!!

Berempati pada alam semesta sejatinya akan membuat siapapun akan lebih peduli /bersimpati dan toleran kepada saudaranya, tetangganya, bahkan musuhnya sendiri. Menghargai dan meyakini kebesaran Tuhan dengan segala keindahan fenomena dan panorama alam semesta cipta karyaNYA, menyayangi sesama dan percaya pada diri sendiri, itulah kunci yang dimiliki oleh orang – orang yang kerap disebut petualang/penjelajah alam bebas ini. Mendaki gunung bukan berarti menaklukan alam, tapi lebih utama adalah menaklukan diri sendiri dari keegoisan pribadi. Selain itu dengan mendaki gunung atau memanjat tebing adalah bentuk ekspresi atau sebuah seni yang memadukan dan mengendalikan antara rasa takut dengan ketrampilan teknik pendakian/ pemanjatan. Mendaki gunung dan memanjat tebing adalah wujud dari sebuah kebersamaan, persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama dan ketergantungan dengan alam bebas itu sendiri.

Dan menjadi salah satu dari mereka bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi pandangan masyarakat yang berpikiran negative terhadap dampak dari kegiatan ini. Apalagi mereka sudah menyinggung soal kematian yang memang tampaknya lebih dekat pada orang - orang yang terjun di alam bebas ini. “Mati muda yang sia – sia.” Begitu komentar mereka saat mendengar atau membaca anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan mati, di gunung hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir. Tidak mutlak atau mesti di gunung pun, kalau maut mau datang dia akan dating kepada siapa pun…!!! . Bisa tewas karena kecelakaan mobil di jalan tol, meninggal tertabrak kereta api, karena sakit mendadak (serangan jantung) atau meninggal karena tersambar petir, kesetrum listrik dll..Kalau selamanya kita harus takut pada kematian, mungkin kita tidak akan pernah dilahirkan oleh Maha Pencipta.

Di gunung, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang ada, tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa yang menghinggapi seorang anak manusia. Gunung itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak – injak. Ada banyak luka di tangan, ada kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya. Namun semuanya itu menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan.

Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu masih sah – sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena walau bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya. Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia akan kembali ke urat akar di mana dia hidup.

Ya, menghargai hidup dan arti kehidupan adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung. Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak. Satu kali mendaki, satu kali pula kita menghargai hidup. Dua kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga kali, empat kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu pula kita menghargai hidup.

Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam ketertekanan mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi seorang bunda yang tidak henti – hentinya memberikan rasa kasih sayangnya.

Kalau golongan mayoritas masih terus saja berpendapat minor soal kegiatan mereka, maka biarkan sajalah. Karena siapapun orangnya yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia – sia belaka, tidak ada yang menaifkan hal ini. Mereka cuma tak paham bahwa ada satu cara di mana mereka tidak bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh para petualang ini, yaitu kemenangan saat kaki tiba pada ketinggian


















sumber  partner 

Senin, 10 Maret 2014

OASIS IKUTI LOMBA LINTAS WISATA NASIONAL II



lomba lintas wisata nasional II yang akan di adakan 15 maret 2014 oleh mapala GJ FHUA fakultas hukum unand yang di prediksikan akan di ikuti oleh sispala oasis juga sispala dan mapala se indonesia. dari sispala oasis pun sudah mempersiapkan diri semenjak surat yang di kirimkan ke kepada sispala oasis dari pihak sispala oasis menurun satu team yang terdiri dari 

1.NOLA SESRIANI (12. 05. 058)
sejauh ini lascar oasis (team oasis ) melakukan 4x dalam seminggu untuk mengikuti lomba lintas wisata nasional. manfaat dari latihan fisik ini. di lakukan agar menjaga kondifisi fisik. satu jam atau dua jam di mulai dari pukul 17:00 sampai selesai . latihan fisi pun di pandu oleh rahman() ketua umum sispala oasis yang di dampingi kabid 2 sispala oasis aswar (12. 05. 053).

sejauh ini lascar ijo sispala telah berada dalam keadaam 75% siap untuk mengikuti ajang bergengsi itu

dan di harapkan kepada seluruh anggota dan alumni sispala oasis agar mengirim kan doa - doa nya agar laskar oasis mendapat pembelajaran dari ajang yang di adakan oleh mapala GJ FHUA fakultas hukum unand tersebut sejauh ini 



2.Nabila Laurenza (12. 05. 057)

di harapa kan 3 genereasi muda sispala oasis ini dapat memberikan yang terbaik dalam perjuangan untuk membesarkan nama sispala oasis di kanca perlombaan yang dangat bergensi dan mengikuti dari angkatan perintis yang mengikuti LLJJ yang di adakan MPALH UNP pada tahun 2008 silam. dimana kala itu team putri juara satu dan team pria yang menginjak ketiga posisi ketiga



dan semoga team oasis mendapatkan maafaat dan pembelajaran dari kegiatan yang di adakan GJ FHUA


dan juga sebagai promosi untuk kedepan nya . dan menghilangkan image bahwa sebenar di sekolah smk 2 padang sispala oasis itu bukan hanya mendaki gunung saja melain mempromosikan keindahan alam yang ada .. 
3.Trezia Adela 12. 05. 059
====> selamat berjuang lascar ijo sispala oasis<====

























Jumat, 07 Maret 2014

JATI, METRO-Suasana langit kota Padang, semakin hari semakin tebal oleh kabut asap kiriman dari daerah tetangga. Sebagian masyarakat sudah mulai mengeluhkan sejumlah penyakit seperti batuk, flu dan ada beberapa yang sudah mulai sesak napas.
Pantauan POSMETRO, Selasa (26/2), sejumlah warga Kota Padang tampak sudah mulai mengenakan masker saat bepergian. Mereka takut terkena kabut asap yang dirasakan sudah mulai menimbulkan sejumlah penyakit. Hanya ada beberapa orang pasien yang memeriksakan kondisi mereka karena kabut asap, tidak dirawat.
Di RSUP M Djamil Padang, tampak puluhan orang yang melakukan pemeriksaan, namun mereka tidak dirawat hanya sebatas konsultasi kesehatan saja. Beberapa di antaranya mengeluhkan penyakit ISPA yang membuat sesak napas, tapi masih dalam tahap aman.
”Sejauh ini orang yang mendatangi rumah sakit hanya sebatas konsultasi saja, belum ada yang dirawat,” jelas Pejabat Pemberi Informasi dan Dokumentasi (PPID) RSUP M Djamil Padang, Gustafianof, kemarin.
Meri (26), salah seorang pengendara motor saat ditemui di Jalan Abdul Muis mengatakan, saat ini intensitas kabut asap lebih tebal dibandingkan dua hari yang lalu. Makanya, dalam berkendara dia menggunakan masker untuk menghindari debu masuk kemulut. “Biasanya tidak seperti ini, dari tadi pagi kabutnya sudah tampak semakin tebal, makanya saya pilih pake masker,” ucap Meri.
Pengendara lain, Rio (25) menyebut masih belum merasakan efek kabut asap tersebut. Tapi, menurut pandangannya, tingkat ketebalan kabut asap sudah lebih tebal dari dua hari yang lalu. “Saat ini masih terasa biasa saja, kalau dibiarkan, mungkin dalam dua atau tiga hari lagi kabut ini akan semakin tebal,” ucapnya.
Sementara, potensi asap sudah mulai berkurang karena hujan yang sempat turun beberapa hari yang lalu. Hal ini terjadi karena adanya angin berhembus dari arah Utara ke Selatan, dari Riau ke Sumbar. Khusus jarak pandang Riau sudah mencapai 500 meter, sedangkan Sumbar masih di atas 1000 meter.
”Sampai saat ini belum ada permintaan penundaan kedatangan maupun keberangkatan pesawat dari dan ke Sumbar,” ujar Kepala BMKG Ketaping, Budi Samiaji saat dihubungi, Rabu (26/2) siang.  
Secara teknis batas ambang baku mutu udara itu maksimal hanya 150,ug/m3, sementara hasil panelitian dari Bapedalda Sumbar dan juga pantauan BMKG Ketaping, kondisi cemaran udara di Sumbar mencapai 150.71 ug/m3.
Nelayan Enggan Melaut
Sebanyak 80 persen jumlah nelayan di jalan Purus II, Kelurahan Purus Selatan, Kecamatan Padang Barat sejak satu bulan  terakhir lebih banyak  libur melaut mencari ikan. Kondisi ini disebabkan  kabut asap tebal yang melanda Kota Padang yang berasal dari pembakaran hutan di Provinsi Riau mengakibatkan para nelayan takut kehilangan pedoman melaut.
Nasrul (32) salah seorang nelayan, Rabu (26/2) di Purus mengaku,  sejak beberapa hari lalu, dirinya memang tidak melaut. Kalaupun melaut hanya beberapa mil saja dari pantai. “Saat ini kami sudah satu bulan enggan melaut. Ditakutkan, kabut yang sangat tebal. Kami tak berani untuk menjaring ikan,” ujarnya.
Sebagian nelayan di kawasan tersebut, menurutnya, hanya menangkap ikan di pinggiran pantai. Hasil tangkapannya pun tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. “Kita tidak mau mengambil risiko kalau kabut yang sangat tebal seperti ini. Memang kawan-kawan masih ada yang melaut, tapi tak jauh dari bibir pantai,” keluhnya.
Nelayan lainnya, Edi (47) mengatakan, selama kondisi cuaca kurang bersahabat seperti sekarang ini, dirinya lebih memilih memarkirkan dan menambatkan biduaknya. “Kalau saja kami kelaut tidak membuahkan hasil. Lebih baik kami menunggu cuaca yang bagus saja. Ba a lai, kami tapaso duduk dan sambia mampaelokan biduak kami yang boco sambia manuggu cuaca rancak,” pungkasnya.
Informasi yang dihimpun POSMETRO, akibat nelayan tidak melaut, berimbas terhadap berkurangnya persediaan ikan di sepanjang pantai berkurang. Hanya beberapa jenis ikan yang dijual, itupun bukan hasil tangkapan nelayan Pantai Purus II.
”Sejak beberapa hari ini memang tidak masuk ikan dari nelayan Pantai Purus. Ikan yang ada hanya didatangkan dari Pesisir Selatan. Harganyapun sudah jauh berbeda. Kalaupun ada, jumlahnya juga tidak banyak dan hanya beberapa jenis ikan saja. Saat ini para penampung hanya menjual dua jenis ikan, yakni ikan tongkol, serai dan beberapa jenis ikan yang didatangkan dari pesisir,” terang salah seorang penjual ikan di pinggiran Pantai Purus

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda