Selasa, 29 Oktober 2013

BUMI YANG SEMAKIN KERITIS

Robert frost, penyair yang suka berkisah tentang alam itu, suatu hari bertanya, “musnahnya makhluk hidup di bumi kelak hangus disebabkan cuaca yang terlalu panas atau mereka beku akibat cuaca yang terlalu dingin.” Saat itu frost tak menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Namun 30 tahun kemudian, seorang ahli geofisika punya jawaban atas pertanyaan frost.
Pada tahun 1993, Tailor, ahli geofisika itu, menyatakan bahwa makhluk hidup di bumi akan musnah karena kepanasan dan kedinginan. Tailor meramalkan, suatu saat nanti suhu bumi akan naik-turun secara tiba-tiba dan itu menyebabkan makhluk hidup takkan mampu bertahan.
Ahli geofisika itu bukan hanya sekedar meramal tanpa hitungan matematis. Selama itu dia telah memonitor perubahan suhu bumi di banyak tempat. Di Greenland, misalnya, 11.500 tahun lalu pulau itu tiba-tiba berubah menjadi sangat dingin dan 1.500 tahun kemudian tiba-tiba saja menjadi hangat. Padahal bila suhu udara di bumi naik 1,1 derajat celcius saja, maka bencana takkan terelakkan.
Itu pula yang terjadi pada bangsa Viking di Greenland beberapa abad lalu. Banjir yang diakibatkan laut yang meluap karena gunung es mencair hingga melumatkan desa-desa di Eropa. Kelaparan lantas menjadi hantu pencabut nyawa, kemudian terjadi kekisruhan akibat perpindahan penduduk secara besar-besaran dengan tujuan mencari selamat.
Lantas, kapan tepatnya perubahan cuaca bumi akan terjadi? Sampai saat ini, para ahli belum bisa memastikan secara jitu. Pada tahun 1986, para ilmuwan sepakat menyatakan bahwa kenaikan suhu akan terjadi tiap 1000 tahun. Tapi baru lima tahun kemudian, tahun 1991, perhitungan itu diralat dan angka turun menjadi setiap 100 tahun. Namun pada tahun 1993, Richard Alley dalam salah satu tulisannya memperhitungkan perubahan cuaca dunia bisa terjadi tiap dua tahun hingga lima tahun.
Yang jelas, bila suhu udara bumi naik, maka gunung-gunung es di Antartika (Kutub Selatan) akan mencair dan air laut bakalan naik. Proses mencairnya gunung es di Antartika telah dipantau oleh Ted Scambos, seorang analisis cuaca dari National Snow and Ice Center di Boulder, Colorado, melalui satelit.
Namun, ia pun menambahkan hal-hal yang bisa menentramkan manusia, yakni bahwa masih banyak tanda tanya dari fenomena yang ditemukannya itu. Bisa jadi, katanya, untuk menaikkan permukaan air laut satu centimeter saja diperlukan waktu ribuan tahun.
Di Antartika sendiri, tiap musim berganti, lingkungan pun otomatis akan berubah. Daratan es di Antartika pada musim dingin luasnya bisa bertambah dua kali lipat, sementara pada musim panas sebaliknya, 80 persen daratan itu akan menjadi laut.
Seorang ahli lain, Mike Thompson, usai melakukan penelitian selama 25 tahun di Antartika, menemukan ada gunung es mengapung menjauhi Semenanjung Antartika. Batu es itu berukuran tebal sekitar 180 meter, lebar 37 kilometer dengan panjang 77 kilometer. Itu merupakan megabreg atau gunung es yang sangat besar.
Bergeraknya gunung es itu telah mengakibatkan sebagian dari tempat gunung es semula berada patah berkeping-keping. Akibatnya, lidah es raksasa yang menghubungkan Benua Antartika dengan Pulau James Ross hilang. Padahal sebelumnya, tak pernah pulau itu sepenuhnya dikelilingi oleh air, pasti selalu ada bagian yang berupa es.
Ahli cuaca berkebangsaan Inggris itu mencatat pula bahwa selama 50 tahun belakangan ini, suhu rata-rata di Semenanjung Antartika meningkat hingga 2,5 derajat celcius menjadi minus tiga derajat celcius.
Entah kenapa, meningkatnya suhu di Kutub Selatan jauh lebih besar dibandingkan kawasan lain di bumi. Kini, malah mulai terlihat munculnya banyak tumbuhan di Kutub Selatan. Daerah “kebun” di beberapa tempat di kutub meningkat hingga 25 kali lipat luasnya.
Mulai menghijaunya daerah Semenanjung Antartika, yang lazimnya sepanjang tahun tertutup salju, merupakan sinyal adanya perubahan iklim yang sangat serius. Sejak munculnya sebuah tulisan pada jurnal Nature pada tahun 1978, para ilmuwan melihat Antartika sebagai indikasi awal dari efek rumah kaca, antara lain ditunjukkan oleh lepasnya bongkahan es raksasa ke laut dari semenanjung di Kutub Selatan itu.
Yang kini masih diperdebatkan adalah, apakah benar perubahan cuaca itu akibat pemanasan global semata ataukah ada faktor lain yang turut mempengaruhinya? Sebab selama satu abad belakangan ini, suhu rata-rata bumi meningkat menjadi 0,5 derajat celcius. Dan naiknya suhu itu diduga tak berkaitan dengan aktivitas manusia, melainkan suatu siklus yang alami sifatnya. Lain halnya di Semenanjung Antartika khususnya, suhu memang cenderung berfluktuasi karena interaksi beberapa unsur yang rumit, yakni angin, arus air laut dan es.
Namun berfluktuasinya suhu Kutub Selatan sepanjang zaman diketahui belum pernah mengakibatkan gunung es di Antartika bisa berjalan-jalan. Fenomena tahun 1986 itu, tiga megabreg patah dari daratan Antartika dan masuk ke perairan, adalah benar-benar hal yang baru. Dua diantaranya kandas di perairan dangkal dan masih tampak hingga kini. Sementara bongkahan ketiga bergerak ke utara, dan diperkirakan akan mencapai wilayah tropis sebelum meleleh seluruhnya.
Lalu, terjadi perubahan yang mempengaruhi hewan-hewan di kawasan kutub. Bintang laut berhenti bereproduksi dan beberapa tumbuhan memproduksi zat “pelindung matahari”. Yang terakhir itu jelas menunjukkan bahwa panas matahari yang tidak seperti biasanya telah menyentuh daratan Antartika.
Riset yang dilakukan para ilmuwan di Palmer Station, sebuah basis ilmuwan Amerika di Pulau Anvers, kawasan Antartika, menunjukkan rusaknya plankton dan kerang-kerangan akibat sinar ultraviolet. Jelas hal itu akan berakibat pada rantai makanan. Tapi mengapa hal itu bisa terjadi? Secara teoritis, itu karena sinar ultraviolet matahari tak cukup tersaring oleh ozon. Dengan kata lain, lapisan ozon di atmosfie di atas Antartika telah bocor.
Kalau begitu kenyataannya, berarti memang ada campur tangan yang membuat kenaikan suhu udara bumi, dan itu bukan karena perubahan yang alami sifatnya. Ada catatan menarik berkaitan dengan kenaikan suhu di bumi. Ilmuwan Amerika dan Inggris pernah melaporkan bahwa suhu rata-rata pada tahun 1994 naik menjadi 0,31 derajat celcius lebih tinggi dibandingkan suhu rata-rata tahun 1951-1980. Maret-Oktober 1994 adalah bulan-bulan paling panas yang pernah dicatat di seluruh dunia.
Lalu antara tahun 1980-1990, tercatat juga sebagai tahun-tahun paling panas selama 130 tahun terakhir, meski terjadi pendinginan di atmosfer akibat meletusnya Gunung Pinatubo di Filipina. Penelitian lainnya mengungkapkan, sejak pertengahan abad ke-19, suhu global meningkat pada semua musim di belahan bumi bagian selatan dan pada musim dingin, semi dan gugur di belahan bumi utara. Data suhu laut di 24 derajat lintang utara yang dicatat selama 35 tahun menunjukkan secara konsisten terjadi peningkatan suhu laut sebesar satu derajat celcius per abad.
Stephen Scheider dari Universitas Stanford mengatakan kecenderungan pemanasan global seperti yang dialami sekarang tidak pernah terjadi dalam beberapa ratus terakhir. Dan ia menyimpulkan 80-90 persen pemanasan global bukan kecenderungan alami.
Sekarang mungkin timbul pertanyaan bagi kita sebagai orang awam, bila kenaikan suhu bumi terjadi terus-menerus lantas apa dampaknya? Yang pasti, jelas permukaan laut akan menjadi naik. Dalam 100 tahun terakhir, permukaan laut dunia rata-rata naik dengan laju 1-2 milimeter per tahun. Tapi mengukur perubahan naik-turun permukaan laut memang sulit sekali. Banyak faktor kesalahan, termasuk dampak naik dan turunnya daratan.
Meski demikian, para ahli sepakat, bahwa berdasarkan pengukuran, permukaan laut rata-rata dalam satu abad terakhir ini sudah naik 15 centimeter. Dan bila itu terjadi secara konstan, maka diperkirakan permukaan laut pada tahun 2010 sudah naik menjadi kurang-lebih 65 centimeter. Dan kita tahu, kenaikan permukaan laut satu centimeter saja bisa berarti hilangnya daratan beberapa meter, bahkan beberapa kilometer. Namun beberapa ahli lain, mengatakan bahwa terjadinya perubahan pola hujan salju akan meningkatkan jumlah es di Antartika yang bisa membantu mengurangi naiknya permukaan laut.
Memang, meski semua data-data di atas masih berupa prediksi saja, namun tak ada salahnya bila kita tak membiarkan para ilmuwan itu prihatin sendiri. Mau tidak mau, sudah saatnya kita ikut mengurangi atau menghentikan sama sekali kegiatan yang bisa menaikkan suhu udara bumi. Bila tidak, mungkin pertanyaan Robert Frost, penyair Amerika yang meninggal pada tahun 1963 itu, akan menjadi sangat jelas: bahwa makhluk hidup di bumi bakal musnah karena tenggelam. Entahlah! *** (dari berbagai sumber)

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar